Kamis, 11 September 2014

makalah dampak dari pertambangan minyak bumi terrhadap ekosistem laut


PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
            Indonesia kaya akan sumber daya alam yang dimilikinya. Sumber daya alam yang meliputi sumber daya alam hayati maupun non hayati dan sumber daya alam yang dapat diperbaharui maupun sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Sumber daya alam adalah lingkungan alam (environment) yang memiliki nilai untuk memenuhi kebutuhan manusia (Rita, 2010).
            Kekayaan alam di Indonesia terbentuk dari beberapa faktor. Dari segi astronomi, Indonesia berada pada daerah tropis yang memiliki curah hujan sangat cukup sehingga banyak ragam dan jenis tumbuhan yang tumbuh secara cepat. Dari segi geologi, Indonesia tepat berada pada titik pergerakan lempeng tektonik sehingga banyak terbentuk pegunungan yang kayak akan mineral. Dari segi perairan di Indonesia yang kaya akan sumber daya alam hayati dan hewani, seperti ikan, minyak bumi, dan mineral yang terkandung didalamnya.Berdasarkan Peraturan Pemerintah (selanjutnya disebut PP) No.19/1999 tentang “Pencemaran Laut” diartikan sebagai masuknya/dimasukkannya makhluk hidup, zat energi dan atau komponen lain kedalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu atau fungsinya.
Laut merupakan suatu ekosistem yang kaya akan sumber daya alam termasuk keanekaragaman sumber daya hayati yang dimanfaatkan untuk manusia. Sebagaimana diketahui bahwa 70% permukaan bumi didominasi oleh perairan atau lautan. Kehidupan manusia di bumi ini sangat bergantung pada lautan, sehingga manusia harus menjaga kebersihan dan kelangsungan kehidupan organisme yang hidup di dalamnya. Berbagai jenis sumber daya yang terdapat di laut, seperti berbagai jenis ikan, terumbu karang, mangrove, rumput laut, mineral, minyak bumi, dan berbagai jenis bahan tambang yang terdapat di dalamnya.
            Selain untuk keberlangsungan hidup manusia, laut juga merupakan tempat pembuangan sampah dan pengendapan barang sisa yang diproduksi manusia. Lautan juga menerima bahan-bahan yang terbawa oleh air yang mengakibatkan pencemaran itu terjadi, diantaranya dari limbah rumah tangga, sampah, buangan dari kapal, dan tumpahan minyak dari kapal tanker. Namun, pencemaran yang sering terjadi adalah tumpahan minyak baik dari proses di kapal, pengeboran lepas pantai, maupun akibat kecelakaan kapal.
            Minyak dan gas bumi sampai saat ini masih merupakan merupakan sumber energi yang menjadi pilihan utama untuk digunakan pada industri, transportasi dan rumah tangga. Selain itu, pemanfaatan berbagai produk akhir atau produk-produk turunan minyak bumi juga semakin meningkat sehingga peningkatan akan permintaan minyak bumi di seluruh dunia telah mengakibatkan pertumbuhan dan ekspansi pada kegiatan eksplorasi dan pengolahan minyak mentah di berbagai negara, termasuk Indonesia. Namun demikian, kita selalu dihadapkan pada dilema antara peningkatan produksi dengan pelestarian sumberdaya alam lingkungan serta dampak yang ditimbulkan dari proses produksi tersebut. Hal ini berarti perkembangan industri baik pengolahan minyak bumi maupun industri yang menggunakan minyak bumi, ternyata merupakan salah satu sumber pencemar lingkungan (Astri Nugroho, 2006).Industri minyak bumi memiliki potensi sebagai sumber dampak terhadap pencemaran air, tanah dan udara baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengelolaan limbah pada kegiatan industri minyak pada dasarnya adalah untuk menyelamatkan lingkungan dan kemungkinan penurunan kualitas lingkungan. Limbah padat dapat berupa lumpur minyak, lumpur aktif, drum-drum bekas bahan kimia, sampah dan lain-lain. Limbah minyak merupakan kotoran minyak yang terbentuk dari proses pengumpulan dan pengendapan kontaminan minyak. Limbah minyak mengandung minyak, zat padat, air, dan logam berat. Limbah minyak ini merupakan bahan pencemar yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan oleh sebab itu harus segera ditanggulangi. Berbagai upaya yang dilakukan untuk mengatasi pencemaran lingkungan dengan perbaikan pada sistim penambangan, pengolahan, penyaluran minyak dan pengolahn limbah. Upaya pencegahan tumpahan minyak di lingkungan dapat dilakukan dengan mengusahan sekecil mungkin tumpahan yang dapat terjadi (Dessy, Y., 2002).
Penanganan kondisi lingkungan yang tercemari minyak bumi dapat dilakukan secara fisika, kimia, dan biologi. Penanganan secara fisika biasanya dilakukan pada langkah awal yaitu dengan mengisolasi secara cepat sebelum tumpahan minyak menyebar kemana-mana. Metode fisika yang dapat digunakan ialah dengan mengambil kembali minyak bumi yang tumpah dengan oil skimmer. Penanganan secara kimia lebih mudah dilaksanakan yaitu tinggal mencari bahan kimia dan konsentrasi yang sesuai untuk mendegradasi kandungan minyak bumi. Misalnya surfaktan sintetis seperti alkil-benzene sulfonat (ABS) dan turunannya dapat digunakan sebagai bahan baku diterjen dan mengatasi pencemaran minyak di daratan maupun dipermukaan laut. Namun. ini akan membawa efek sampingan terhadap kehidupan lingkungan disekitar yang terkena tumpahan minyak yaitu mencemari tanah dan air serta tidak dapat didegradasi secara biologis. Penanganan secara kimia dan fisika merupakan cara penanganan cemaran minyak bumi yang membutuhkan waktu yang relatif singkat, tetapi metode ini dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Ini dapat dilakukan jika tumpahan minyak bumi belum menyebar kemana-mana. Jika minyak bumi telah mengendap dan menyebar sulit dilakukan dengan metode ini. Penanganan secara biologi merupakan salah satu alternatif dalam upaya mendegradasi kandungan minyak bumi di lingkungan. Surfaktan ramah lingkungan yang dapat dihasilkan oleh mikroorgansime disebut biosurfaktan. Aplikasi biosurfaktan dapat digunakan untuk recovery minyak bumi dan pembersihan tangki. Untuk itu, perlu dicari jenis mikroorganisme yang aktif mendegradasi minyak bumi (Prince et.al. 2003).
1.2 Perumusan Masalah
Permasalahan yang dirumuskan dan dibahas dalam makalah ini adalah :
  1. Permasalahan apa saja yang timbul akibat tumpahan minyak di laut?
  2. Apa saja penyebab tumpahan minyak di laut?
  3. Bagaimana cara menanggulangi permasalahan tumpahan minyak di laut?
1.3 Tujuan
Tujuan makalah ini adalah :
  1. Mengetahui permasalahan apa saja yang terjadi apabila tumpahnya minyak di laut.
  2. Mengetahui cara menangani permasalahan yang terjadi di padaekosistem mangrove dan biota di laut apabila terjadi tumpahan minyak di laut.
1.4 manfat penulisan
         Makalah ini diharapkan dapat memberikan gambaran atas permasalahandampak tumpahan minyak terhadap ekosistem mangrove dan biota laut.dan penanggulangan yang tepat atas permasalahan yang terjadi.
  1. Makalah ini dapat memberikan literatur mengenai permasalahan tumpahan minyak dan penanggulangan yang tepat bagi kalangan akademisi dan peneliti.
  2. Makalah ini dapat menambah wawasan dan memberikan inspirasi dalam penanggulangan atas permaslahan tumpahan minyak di laut.
  3. Makalah ini dapat memberikan inspirasi atas kebijakan hukum dalam mengelola sumber daya pesisir secara lestari dan terpadu. 
PEMBAHASAN
Pencemaran laut didefinisikan sebagai peristiwa masuknya partikel kimia, limbah industri, pertanian dan perumahan, kebisingan, atau penyebaran organisme invasif (asing) ke dalam laut, yang berpotensi memberi efek berbahaya. Dalam sebuah kasus pencemaran, banyak bahan kimia yang berbahaya berbentuk partikel kecil yang kemudian diambil oleh plankton dan binatang dasar, yang sebagian besar adalah pengurai ataupun filter feeder(menyaring air). Dengan cara ini, racun yang terkonsentrasi dalam laut masuk ke dalam rantai makanan, semakin panjang rantai yang terkontaminasi, kemungkinan semakin besar pula kadar racun yang tersimpan. Pada banyak kasus lainnya, banyak dari partikel kimiawi ini bereaksi dengan oksigen, menyebabkan perairan menjadi anoxic.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.19/1999, pencemaran laut diartikan dengan masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnyaturun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya (Pramudianto, 1999). Sedangkan Konvensi Hukum Laut III (United Nations Convention on the Law of the Sea = UNCLOS III) memberikan pengertian bahwa pencemaran laut adalah perubahan dalam lingkungan laut termasuk muara sungai (estuaries) yang menimbulkan akibat yang buruk sehingga dapat merugikan terhadap sumber daya laut hayati (marine living resources), bahaya terhadap kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk perikanan dan penggunaan laut secara wajar, memerosotkan kualitas air laut dan menurunkan mutu kegunaan dan manfaatnya (Siahaan, 1989a).
Pencemaran laut (perairan pesisir) didefinisikan sebagai “dampak negatif” (pengaruh yang membahayakan) terhadap kehidupan biota, sumberdaya dan kenyamanan (amenities) ekosoistem laut serta kesehatan manusia dan nilai guna lainnya dari ekosistem laut yang disebabkan secara langsung maupun tidak langsung oleh pembuangan bahan-bahan atau limbah (termasuk energi) ke dalam laut yang berasal dari kegiatan manusia (GESAMP,1986).
Menurut Soegiarto (1978), pencemaran laut adalah perubahan laut yang tidak menguntungkan (merugikan) yang diakibatkan oleh benda-benda asing sebagai akibat perbuatan manusia berupa sisa-sisa industri, sampah kota, minyak bumi, sisa-sisa biosida, air panas dan sebagainya. Terdapat banyak tipe pencemaran yang sangat penting sehubungan dengan lingkungan kelautan, beberapa diantaranya adalah:
1. Perubahan kuala, teluk, telaga, pantai serta habitat-habitat pantai karena pencemaran darat, pengerukan, pengurugan, dan pembangunan.
2. Penyebaran pestisida dan bahan-bahan kimia lain yang tahan lama
3. Pencemaran oleh minyak
4. Penularan-penularan bahan-bahan radioaktif di seluruh dunia
5. Pencemaran oleh panas
Minyak menjadi pencemar laut nomor satu di dunia. Sebagian diakibatkan aktivitas pengeboran minyak dan industri. Separuh lebih disebabkan pelayaran serta kecelakaan kapal tanker.Wilayah Indonesia sebagai jalur kapal internasional pun rawan pencemaran limbah minyak. Badan Dunia Group of Expert on Scientific Aspects of Marine Pollution (GESAMP) mencatat sekitar 6,44 juta ton per tahun kandungan hidrokarbon dari minyak telah mencemari perairan laut dunia. Masing-masing berasal dari transportasi laut sebesar 4,63 juta ton, instalasi pengeboran lepas pantai 0,18 juta ton, dan sumber lain (industri dan pemukiman) sebesar 1,38 juta ton.Limbah minyak sangat berpengaruh terhadap kerusakan ekosistem laut, mulai dari terumbu karang, mangrove sampai dengan biota air, baik yang bersifat lethal (mematikan) maupun sublethal (menghambat pertumbuhan, reproduksi dan proses fisiologis lainnya). Hal ini karena adanya senyawa hidrokarbon yang terkandung dalam minyak bumi, yang memiliki komponen senyawa kompleks, seperti Benzena, Toluena, Ethilbenzena dan isomer Xylena (BTEX)Senyawa tersebut berpengaruh besar terhadap pencemaran.
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Muhamad Karim mengatakan dampak dari pencemaran minyak laut paling dirasakan oleh nelayan. “Akibat tumpahan minyak, terumbu karang, ikan dan biota laut mati. Para nelayan yang menggantungkan hidup dari mencari ikan di laut tidak bisa meraih hasil tangkapan,” ujarnya.
Karim menjelaskan, minyak dan air laut tidak bisa menyatu. Karena berat masanya lebih ringan. Akibat ini pula minyak yang mengambang menutupi permukaan laut sehingga karang-karang sebagai tempat tinggal dan sumber makanan ikan mati.
”Seperti yang terjadi di Balikpapan. Akibat tumpahan minyak selama enam bulan nelayan di sana tidak bisa mencari ikan. Ini karena tumpahan minyak yang mereka kenal Lantung,” katanya.Menurut Karim, wilayah yang paling rentan dari pencemaran lingkungan akibat tumpahan minyak adalah di masyarakat pesisir. Sebab 70 persen pengeboran minyak ada di lepas pantai.Selain itu, jalur laut yang biasa dilalui kapal-kapal tanker yang mengangkut berjuta-juta ton barel minyak, seperti di wilayah Selat Malaka dan Teluk Jakarta.
Pencemaran lingkungan yang harus bertanggung jawab adalah Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Kementerian Lingkuhan Hidup (KLH), Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, DKP, TNI AL, Pertamina dan pemerintah daerah. Mereka menjadi ujung tombak dalam pencegahan dan penanggulangan polusi laut.Banyak kasus-kasus seperti ini hanya menjadi catatan pemerintah tanpa penanggulangan tuntas. Contohnya adalah kasus pencemaran di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Diketahui pencemaran ini sudah terjadi sejak 2003 dan dalam kurun waktu 2003-2004 tercatat berlangsung 6 kali kejadian. Namun sampai saat ini pemerintah belum mampu mengangkat kasus ini ke pengadilan untuk menghukum pelaku apalagi membayar ganti rugi kepada masyarakat sekitar. Ini menunjukkan lemahnya koordinasi antar instansi pemerintah dan kepolisian dalam menuntaskan kasus. Harus diakui Indonesia tertinggal dari negara-negara lain dalam hal pencegahan dan penanggulangan bencana tumpahan minyak di laut.
“Sebagai contoh tumpahan minyak di Teluk Meksiko. Pemerintah Amerika Serikat dengan tegas meminta ganti rugi kepada perusahaan yang bertanggung jawab, mereka pun patuh,” ujarnya.Yang terjadi di Indonesia sebaliknya. Mereka tidak bisa menindak tegas bahkan menghitung kerugian, mulai dari jumlah ikan yang mati, kerugian nelayan dan kerugian meteril lainnya. “Kasus tumpahan minyak Cevron di Balikpapan misalnya, justru masyarakat yang pro aktif. Mereka yang melakukan pengawasan lingkungan laut. Karena mereka menggantungkan hidup di sana,” ujarnya.Karim menegaskan, tumpahan minyak kian waktu menjadi kekhawatiran seluruh lapisan masyarakat atas ketersediaan lahan hidup bagi warga pesisir. Karena itu kegiatan monitoring dan kontrol menjadi sangat penting untuk mencegah dan menanggulangi bahaya pencemaran laut dari tumpahan minyak.
Kasus kebocoran ladang minyak dan gas di lepas pantai memang telah menjadi sesuatu yang akrab di telinga kita, terakhir terjadi di Laut Timor pada 21 Agustus 2009 pukul 04.30 WIB oleh operator kilang minyak PTTEP Australia yang berlokasi di Montara Welhead Platform (WHP), Laut Timor atau 200 km dari Pantai Kimberley, Australia. Kejadian seperti ini merupakan yang kesekian kalinya terjadi di perairan Indonesia, tercatat sampai tahun 2001, telah terjadi 19 peristiwa tumpahan minyak di perairan Indonesia (Mukhtasor, 2007). Tumpahan minyak tersebut telah memasuki wilayah perairan Nusa Tenggara Timur (NTT) sejauh 51 mil atau sekitar 80 km tenggara Pulau Rote.
Tumpahan minyak tersebut tentu berdampak pada banyak hal, diantaranya, terhadap kondisi lingkungan laut, biota laut, dan tentu saja berdampak pada ekonomi nelayan Indonesia yang setiap harinya beraktivitas di daerah tersebut. Secara umum dampak langsung yang terjadi adalah sebanyak 400 barel atau 63,6 ribu liter minyak mentah mengalir ke Laut Timor per hari, permukaan laut tertutup 0,0001 mm minyak mentah, minyak mentah masuk ke Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE) Indonesia pada 28 Oktober 2009, serta gas hidrokarbon terlepas ke atmosfer.
1.      Pengaruh terhadap lingkungan laut.
Beberapa efek tumpahan minyak di laut dapat di lihat dengan jelas seperti pada pantai menjadi tidak indah lagi untuk dipandang, kematian burung laut, ikan, dan kerang-kerangan, atau meskipun beberapa dari organisme tersebut selamat akan tetapi menjadi berbahaya untuk dimakan. Efek periode panjang (sublethal) misalnya perubahan karakteristik populasi spesies laut atau struktur ekologi komunitas laut, hal ini tentu dapat berpengaruh terhadap masyarakat pesisir yang lebih banyak menggantungkan hidupnya di sector perikanan dan budi daya, sehingga tumpahan minyak akan berdampak buruk terhadap upaya perbaikan kesejahteraan nelayan.
2.      Pengaruh minyak pada komunitas laut.
Tumpahan minyak yang tejadi di laut terbagi kedalam dua tipe, minyak yang larut dalam air dan akan mengapung pada permukaan air dan minyak yang tenggelam dan terakumulasi di dalam sedimen sebagai deposit hitam pada pasir dan batuan-batuan di pantai. Minyak yang mengapung zpada permukaan air tentu dapat menyebabkan air berwarna hitam dan akan menggangu organisme yang berada pada permukaan perairan, dan tentu akan mengurangi intensitas cahaya matahari yang akan digunakan oleh fitoplankton untuk berfotosintesis dan dapat memutus rantai makanan pada daerah tersebut, jika hal demikian terjadi, maka secara langsung akan mengurangi laju produktivitas primer pada daerah tersebut karena terhambatnya fitoplankton untuk berfotosintesis.
Sementara pada minyak yang tenggelam dan terakumulasi di dalam sedimen sebagai deposit hitam pada pasir dan batuan-batuan di pantai, akan mengganggu organisme interstitial maupun organime intertidal, organisme intertidal merupakan organisme yang hidupnya berada pada daerah pasang surut, efeknya adalah ketika minyak tersebut sampai ke pada bibir pantai, maka organisme yang rentan terhadap minyak seperti kepiting, amenon, moluska dan lainnya akan mengalami hambatan pertumbuhan, bahkan dapat mengalami kematian. Namun pada daerah intertidal ini, walaupun dampak awalnya sangat hebat seperti kematian dan berkurangnya spesies, tumpahan minyak akan cepat mengalami pembersihan secara alami karena pada daerah pasang surut umumnya dapat pulih dengan cepat ketika gelombang membersihkan area yang terkontaminasi minyak dengan sangat cepat. Sementara pada organisme interstitial yaitu, organisme yang mendiami ruang yang sangat sempit di antara butir-butir pasir tentu akan terkena dampaknya juga, karena minyak-minyak tersebut akan terakumulasi dan terendap pada dasar perairan seperti pasir dan batu-batuan, dan hal ini akan mempengaruhi tingkah laku, reproduksi, dan pertumbuhan dan perkembangan hewan yang mendiami daerah ini seperti cacing policaeta, rotifer, Crustacea dan organisme lain.
3.      Perilaku Minyak di Laut
Senyawa Hidrokarbon yang terkandung dalam minyak bumi berupa benzene, touleuna, ethylbenzen, dan isomer xylena, dikenal sebagai BTEX, merupakan komponen utama dalam minyak bumi, bersifat mutagenic dan karsinogenik pada manusia. Senyawa ini bersifat rekalsitran, yang artinya sulit mengalami perombakan di alam, baik di air maupun didarat, sehingga hal ini akan mengalami proses biomagnetion pada ikan ataupun pada biota laut lain. Bila senyawa aromatic tersebut masuk ke dalam darah, akan diserap oleh jaringan lemak dan akan mengalami oksidasi dalam hati membentuk phenol, kemudian pada proses berikutnya terjadi reaksi konjugasi membentuk senyawa glucuride yang larut dalam air, kemudian masuk ke ginjal (Kompas, 2004).
Ketika minyak masuk ke lingkungan laut, maka minyak tersebut dengan segera akan mengalami perubahan secara fisik dan kimia. Diantaran proses tersebut adalah membentuk lapisan ( slick formation ), menyebar (dissolution), menguap (evaporation), polimerasi (polymerization), emulsifikasi (emulsification), emulsi air dalam minyak ( water in oil emulsions ), emulsi minyak dalam air (oil in water emulsions), fotooksida, biodegradasi mikorba, sedimentasi, dicerna oleh planton dan bentukan gumpalan ter (Mukhstasor, 2007).
Hampir semua tumpahan minyak di lingkungan laut dapat dengan segera membentuk sebuah lapisan tipis di permukaan. Hal ini dikarenakan minyak tersebut digerakkan oleh pergerakan angin, gelombang dan arus, selain gaya gravitasi dan tegangan permukaan. Beberapa hidrokarbon minyak bersifat mudah menguap, dan cepat menguap. Proses penyebaran minyak akan menyebarkan lapisan menjadi tipis serta tingkat penguapan meningkat.Hilangnya sebagian material yang mudah menguap tersebut membuat minyak lebih padat/ berat dan membuatnya tenggelam. Komponen hidrokarbon yang terlarut dalam air laut, akan membuat lapisan lebih tebal dan melekat, dan turbulensi air akan menyebabkan emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Ketika semua terjadi, reaksi fotokimia dapat mengubah karakter minyak dan akan terjadi biodegradasi oleh mikroba yang akan mengurangi jumlah minyak.Proses pembentukan lapisan minyak yang begitu cepat, ditambah dengan penguapan komponen dan penyebaran komponen hidrokarbon akan mengurangi volume tumpahan sebanyak 50% selama beberapa hari sejak pertama kali minyak tersebut tumpah. Produk kilang minyak, seperti gasoline atau kerosin hamper semua lenyap, sebaliknya minyak mentah dengan viskositas yang tinggi hanya mengalami pengurangan kurang dari 25%.
A.    Awal Mula Pencemaran Minyak di Laut
Sejak peluncuran kapal pengangkut minyak pertama Gluckauf pada 1885, dan penggunaan pertama mesin diesel kapal (tiga tahun kemudian), penomena pencemaran laut oleh minyak muncul. Sebelum perang Dunia II sudah ada usaha-usaha untuk membuat peraturan mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran laut. Namun, baru terpikirkan setelah terbentuk International Maritime Organization (IMO) dari Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada 1948.
Usaha membuat peraturan yang dapat dipatuhi semua pihak dalam organisasi tersebut masih ditentang banyak pihak. Baru pada 1954 atas prakarsa dan pengorganisasian yang dilakukan pemerintah Inggris (UK), lahirlah Oil Pollution Convention yang mencari cara untuk mencegah pembuangan campuran minyak dari pengoperasian kapal tanker dan dari kamar mesin.Selanjutnya disusul amandemen tahun 1962 dan 1969 untuk menyempurnakan kedua peraturan tersebut. Jadi sebelum tahun 1970 masalah Maritime Pollution baru pada tingkat prosedur operasi.
Pada 1967 terjadi pencemaran terbesar, ketika tanker Torrey Canyon yang kandas di pantai selatan Inggris menumpahkan 35 juta gallons crudel oil dan telah merubah pandangan masyarakat International di mana sejak saat itu mulai dipikirkan bersama pencegahan pencemaran secara serius. Sebagai hasilnya adalah “ International Convention for the Prevention of Pollution from Ships pada 1973 yang kemudian disempurnakan TSPP (Tanker Safety and Pollution Prevention ) Protocol pada 1978 dan konvensi ini dikenal dengan nama MARPOL 1973/1978.Konvensi ini berlaku secara International sejak 2 Oktober 1983. Isi dan teks dari MARPOL 73/78 sangat komplek dan sulit dipahami bila tanpa ada usaha mempelajari secara intensif. Implikasi langsung terhadap kepentingan lingkungan Maritim dari hasil pelaksanaannya memerlukan evaluasi berkelanjutan baik oleh pemerintah maupun pihak industri suatu negara.
Sebagai contoh Jepang, dalam hal pencegahan dan penanggulangan bencana tumpahan minyak di laut, antara birokrasi, LSM, institusi penelitian dan masyarakat telah terintegrasi dengan baik. Kasus kandasnya kapal tanker milik Rusia Nakhodka (13.157 ton bermuatan 19.000 kilo liter heavy oil) pada Januari 1997, sebagai bukti keberhasilan negara tersebut dalam penanggulangan tumpahan minyak. Mereka bekerja sama saling membantu dalam penanggulangan bencana ini. Hanya dalam waktu 50 hari seluruh tumpahan dapat diselesaikan.
Pencemaran laut diartikan sebagai adanya kotoran atau hasil buangan aktivitas makhluk hidup yang masuk ke daerah laut. Pencemaran lingkungan laut merupakan masalah yang dihadapi oleh masyarakat bangsa-bangsa. Pengaruhnya dapat menjangkau seluruh aktifitas manusia di laut dan karena sifat laut yang berbeda dengan darat, maka masalah pencemaran laut dapat mempengaruhi semua negara pantai baik yang sedang berkembang maupun negara-negara maju, sehingga perlu disadari bahwa semua negara pantai mempunyai kepentingan terhadap masalah pencemaran laut. Sumber dari pencemaran laut ini antara lain adalah tumpahan minyak, sisa damparan amunisi perang, buangan sampah dari transportasi darat melalui sungai, emisi trasportasi laut dan buangan pestisida dari pertanian. Namun, sumber utama pencemaran lebih sering terjadi pada tumpahnya minyak dari kapal tanker. Hasil ekspoitasi minyak bumi diangkut oleh kapal tanker ke tempat pengolahan minyak bumi (crude oil). Pencemaran minyak bumi dilepas pantai bisa diakibatkan oleh sistem penampungan yang bocor, atau kapal yang tenggelam yang menyebabkan lepasnya crude oil ke badan perairan (laut lepas). Dampak dari lepasnya crude oil di perairan lepas pantai mengakibatkan limbah tersebut dapat tersebar tergantung kepada gelombang air laut. Penyebaran limbah tersebut dapat berdampak pada beberapa negara. Dampak yang terjadi akibat dari pencemaran tersebut adalah tertutupnya lapisan permukaan laut yang dapat menyebabkan penetrasi matahari berkurang, menyebabkan proses fotosintesis terganggu, pengikatan oksigen terganggu, dan dapat menyebabkan kematian.
Menurut Benny 2002, pencemaran minyak di laut berasal dari:
1.    Operasi Kapal Tanker
2.    Docking (Perbaikan/Perawatan Kapal)
3.    Terminal Bongkar Muat Tengah Laut
4.    Tanki Ballast dan Tanki Bahan Bakar
5.    Scrapping Kapal (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua)
6.    Kecelakaan Tanker (kebocoran lambung, kandas, ledakan, kebakaran dan tabrakan)
7.    Sumber di Darat (minyak pelumas bekas, atau cairan yang mengandung hydrocarbon ( perkantoran& industri )
8.    Tempat Pembersihan (dari limbah pembuangan Refinery )

B.     Dampak dari Pencemaran Minyak di Laut
Komponen minyak yang tidak dapat larut di dalam air akan mengapung yang menyebabkan air laut berwarna hitam. Beberapa komponen minyak tenggelam dan terakumulasi di dalam sedimen sebagai deposit hitam pada pasir dan batuan-batuan di pantai. Komponen hidrokarbon yang bersifat toksik berpengaruh pada reproduksi, perkembangan, pertumbuhan, dan perilaku biota laut, terutama pada plankton, bahkan dapat mematikan ikan, dengan sendirinya dapat menurunkan produksi ikan. Proses emulsifikasi merupakan sumber mortalitas bagi organisme, terutama pada telur, larva, dan perkembangan embrio karena pada tahap ini sangat rentan pada lingkungan tercemar (Fakhrudin, 2004). Bahwa dampak-dampak yang disebabkan oleh pencemaran minyak di laut adalah akibat jangka pendek dan akibat jangka panjang.
1.    Akibat jangka pendek
Molekul hidrokarbon minyak dapat merusak membran sel biota laut, mengakibatkan keluarnya cairan sel dan berpenetrasinya bahan tersebut ke dalam sel. Berbagai jenis udang dan ikan akan beraroma dan berbau minyak, sehingga menurun mutunya. Secara langsung minyak menyebabkan kematian pada ikan karena kekurangan oksigen, keracunan karbon dioksida, dan keracunan langsung oleh bahan berbahaya.
2.    Akibat jangka panjang
Lebih banyak mengancam biota muda. Minyak di dalam laut dapat termakan oleh biota laut. Sebagian senyawa minyak dapat dikeluarkan bersama-sama makanan, sedang sebagian lagi dapat terakumulasi dalam senyawa lemak dan protein. Sifat akumulasi ini dapat dipindahkan dari organisma satu ke organisma lain melalui rantai makanan. Jadi, akumulasi minyak di dalam zooplankton dapat berpindah ke ikan pemangsanya. Demikian seterusnya bila ikan tersebut dimakan ikan yang lebih besar, hewan-hewan laut lainnya, dan bahkan manusia. Secara tidak langsung, pencemaran laut akibat minyak mentah dengan susunannya yang kompleks dapat membinasakan kekayaan laut dan mengganggu kesuburan lumpur di dasar laut. Ikan yang hidup di sekeliling laut akan tercemar atau mati dan banyak pula yang bermigrasi ke daerah lain.
Minyak yang tergenang di atas permukaan laut akan menghalangi masuknya sinar matahari sampai ke lapisan air dimana ikan berkembang biak. Menurut Fakhrudin (2004), lapisan minyak juga akan menghalangi pertukaran gas dari atmosfer dan mengurangi kelarutan oksigen yang akhirnya sampai pada tingkat tidak cukup untuk mendukung bentuk kehidupan laut yang aerob. Lapisan minyak yang tergenang tersebut juga akan mempengarungi pertumbuhan rumput laut , lamun dan tumbuhan laut lainnya jika menempel pada permukaan daunnya, karena dapat mengganggu proses metabolisme pada tumbuhan tersebut seperti respirasi, selain itu juga akan menghambat terjadinya proses fotosintesis karena lapisan minyak di permukaan laut akan menghalangi masuknya sinar matahari ke dalam zona euphotik, sehingga rantai makanan yang berawal pada phytoplankton akan terputus. Jika lapisan minyak tersebut tenggelam dan menutupi substrat, selain akan mematikan organisme benthos juga akan terjadi perbusukan akar pada tumbuhan laut yang ada.
Pencemaran minyak di laut juga merusak ekosistem mangrove. Minyak tersebut berpengaruh terhadap sistem perakaran mangrove yang berfungsi dalam pertukaran CO2 dan O2, dimana akar tersebut akan tertutup minyak sehingga kadar oksigen dalam akar berkurang. Jika minyak mengendap dalam waktu yang cukup lama akan menyebabkan pembusukan pada akar mangrove yang mengakibatkan kematian pada tumbuhan mangrove tersebut. Tumpahan minyak juga akan menyebabkan kematian fauna-fauna yang hidup berasosiasi dengan hutan mangrove seperti moluska, kepiting, ikan, udang, dan biota lainnya.
Bukti-bukti di lapangan menunjukkan bahwa minyak yang terperangkap di dalam habitat berlumpur tetap mempunyai pengaruh racun selama 20 tahun setelah pencemaran terjadi. Komunitas dominan species Rhizophora mungkin bisa membutuhkan waktu sekitar 8 (delapan ) tahun untuk mengembalikan kondisinya seperti semula (O'Sullivan & Jacques, 2001 ).
Ekosistim terumbu karang juga tidak luput dari pengaruh pencemaran minyak . Menurut O'Sullivan & Jacques (2001), jika terjadi kontak secara langsung antara terumbu karang dengan minyak maka akan terjadi kematian terumbu karang yang meluas. Akibat jangka panjang yang paling potensial dan paling berbahaya adalah jika minyak masuk ke dalam sedimen. Burung laut merupakan komponen kehidupan pantai yang langsung dapat dilihat dan sangat terpengaruh akibat tumpahan minyak . Akibat yang paling nyata pada burung laut adalah terjadinya penyakit fisik (Pertamina, 2002). Minyak yang mengapung terutama sekali amat berbahaya bagi kehidupan burung laut yang suka berenang di atas permukaan air, seperti auk (sejenis burung laut yang hidup di daerah subtropik), burung camar dan guillemot ( jenis burung laut kutub).Tubuh burung ini akan tertutup oleh minyak, kemudian dalam usahanya membersihkan tubuh mereka dari minyak, mereka biasanya akan menjilat bulu-bulunya, akibatnya mereka banyak minum minyak dan akhirnya meracuni diri sendiri. Disamping itu dengan minyak yang menempel pada bulu burung, maka burung akan kehilangan kemampuan untuk mengisolasi temperatur sekitar ( kehilangan daya sekat), sehingga menyebabkan hilangnya panas tubuh burung, yang jika terjadi secara terus-menerus akan menyebabkan burung tersebut kehilangan nafsu makan dan penggunaan cadangan makanan dalam tubuhnya.Peristiwa yang sangat besar akibatnya terhadap kehidupan burung laut adalah peristiwa pecahnya kapal tanki Torrey Canyon yang mengakibatkan matinya burung-burung laut sekitar 10.000 ekor di sepanjang pantai dan sekitar 30.000 ekor lagi didapati tertutupi oleh genangan minyak ( Farb, 1980 ). Pembuangan air ballast di Alaska sekitar Pebruari-Maret 1970 telah pula mencemari seribu mil jalur pantai dan diperkirakan paling sedikit 100 ribu ekor burung musnah (Siahaan, 1989 dalam Misran 2002). .Menyadari akan besarnya bahaya pencemaran minyak di laut, maka timbullah upaya-upaya untuk pencegahan dan penanggulangan bahaya tersebut oleh negara-negara di dunia. Diakui bahwa prosedur penanggulangan seperti: pemberitahuan bencana, evaluasi strategi penanggulangan, partisipasi unsur terkait termasuk masyarakat, teknis penanggulangan, komunikasi, koordinasi dan kesungguhan untuk melindungi laut dan keberpihakan kepada kepentingan masyarakat menjadi poin utama dalam pencegahan dan penanggulangan pencemaran minyak. Untuk melakukan hal tersebut, tiga hal yang dapat dijadikan landasan yaitu aspek legalitas, aspek perlengkapan dan aspek koordinasi.
 Sejak September 2003 Departemen Kelautan dan Perikanan memulai Gerakan Bersih pantai dan Laut (GBPL). Gerakan ini bertujuan untuk mendorong seluruh lapisan masyarakat untuk mewujudkan laut yang biru dan pantai yang bersih pada lokasi yang telah mengalami pencemaran. Dengan gerakan ini diharapkan bukan hanya didukung oleh pemerintah dan masyarakat, namun juga didukung oleh para pengusaha minyak dan gas bumi yang beroperasi di Indonesia.
Tumbuhan mangrove merupakan sumberdaya utama pada lahan pesisir yang membentuk komunitas ekosistem mangrove. Hal ini disebabkan karena tumbuhan berada pada tingkat paling bawah dari piramida makanan pada ekosistem tersebut. Sebagai salah satu bentuk ekosistem lahan basah, ekosistem mangrove (selain padang lamun) merupakan habitat bagi berbagai spesies, terutama bagi jenis-jenis hewan terrestrial. Ekosistem hutan mangrove juga berfungsi sebagai perangkap sedimen (trap sediment) dan menghalangi erosi sehingga dapat melindungi terumbu karang dan sedimentasi. Fungsi lainnya, yaitu sebagai pelindung wilayah pesisir dari kerusakan yang ditimbulkan oleh ombak dan badai. Oleh karena itu ekosistem mangrove harus di jaga dari kerusakan yang sering diakibatkan oleh manusia terutama dalam hal pencemaran minyak di daerah ekosistem mangrove.
 Pengaruh tumpahan minyak terhadap ekosistem mangrove adalah dapat merusak ekosistem mangrove secara fisik, kimia dan biologis. Secara fisik dengan adanya tumpahan minyak maka permukaan air laut pada daerah ekosistem mangrove akan tertutup oleh minyak Dengan adanya tumpahan minyak pada daerah ekosistem mangrove maka minyak akan menutupi lentisel mangrove sehingga akan mengakibatkan kematian pada mangrove. Secara kimia, karena minyak bumi tergolong senyawa aromatik hidrokarbon maka dapat bersifat racun. Sedangkan secara biologi adanya buangan atau tumpahan minyak dapat mempengaruhi kehidupan organisme-organisme yang hidup disekitarnya.Tumpahan minyak bumi di daerah ekosistem mangrove akan membentuk lapisan filem pada permukaan air laut di daerah ekosistem mangrove, emulsi atau mengendap dan diabsorbsi oleh sedimen-sedimen yang berada di dasar perairan laut. Minyak yang membentuk lapisan filem pada permukaan laut di daerah yang akan menyebabkan terganggunya proses fotosintesa dan respirasi organisme-organisme yang hidup di dalam ekosistem mangrove. Sementara minyak yang teremulsi dalam air akan mempengaruhi epitelial insang ikan sehingga mengganggu proses respirasi. Sedangkan minyak yang terabsorbsi oleh sedimen di dasar perairan akan menutupi lapisan atas sedimen tersebut sehingga akan mematikan organisme penghuni dasar pada ekosisitem mangrove dan juga meracuni daerah pemijahan.
Komponen minyak tidak larut di dalam air akan mengapung pada permukaan air laut yang menyebabkan air laut berwarna hitam. Beberapa komponen minyak tenggelam dan terakumulasi di dalam sedimen sebagai deposit hitam pada pasir dan batuan-batuan di pantai. Hal ini mempunyai pengaruh yang luas terhadap hewan dan tumbuh-tumbuhan yang hidup di perairan.
Komponen hidrokarbon yang bersifat toksik berpengaruh terhadap reproduksi, perkembangan, pertumbuhan, dan perilaku biota laut yang ada di di dalam ekosistem mangrove, terutama pada plankton, bahkan dapat mematikan ikan, dengan sendirinya dapat menurunkan produksi ikan yang berakibat menurunnya devisa negara. Proses emulsifikasi merupakan sumber mortalitas bagi organisme, terutama pada telur, larva, dan perkembangan embrio karena pada tahap ini sangat rentan pada lingkungan tercemar. Proses ini merupakan penyebab terkontaminasinya sejumlah flora dan fauna di wilayah tercemar.
Beberapa kasus pencemaran minyak telah menghancurkan area mangrove serta daerah air payau secara luas. Hutan mangrove merupakan sumber nutrien dan tempat pemijah bagi ikan, dapat rusak oleh pengaruh minyak terhadap sistem perakaran yang berfungsi dalam pertukaran CO2 dan O2, akan tertutup minyak sehingga kadar oksigen dalam akar berkurang. Dan juga merusak hewan dan tumbuh–tumbuhan yang hidup di batu-batuan dan pasir di wilayah pantai,
Tumpahan minyak berpengaruh besar pada ekosistem mangrove, penetrasi cahaya menurun di bawah oil slick atau lapisan minyak. Proses fotosintesis terhalang pada zona euphotik sehingga rantai makanan yang berawal pada phytoplankton akan terputus. Lapisan minyak juga menghalangi pertukaran gas dari atmosfer dan mengurangi kelarutan oksigen yang akhirnya sampai pada tingkat tidak cukup untuk mendukung bentuk kehidupan laut yang aerob.
Tentu saja semua kejadian tersebut, yang diakibatkan oleh adanya pencemaran minyak, akan terkait dengan rusaknya ekosistem mangrove. Adapun aplikasi detergen sebagai dispersant untuk menyerap tumpahan minyak di laut berpengaruh besar pada berbagai kehidupan biota laut, yaitu meningkatkan biological membrane permeability terhadap senyawa toksik.

C.    SUMBER- SUMBER PENCEMARAN LAUT
Menurut Alamsyah (1999), pencemaran lingkungan pesisir dan laut dapat diakibatkan oleh limbah buangan kegiatan atau aktivitas di daratan (land-based pollution) maupun kegiatan atau aktivitas di lautan (sea-based pollution). Kontaminasi lingkungan laut akibat pencemaran dapat dibagi atas kontaminasi secara fisik dan kimiawi.
Secara umum, kegiatan atau aktivitas di daratan (land-based pollution) yang berpotensi mencemari lingkungan pesisir dan laut antara lain : penebangan hutan (deforestation), buangan limbah industri (disposal of industrial wastes), buangan limbah pertanian (disposal of agricultural wastes), buangan limbah cair domestic (sewage disposal), buangan limbah padat (solid wastes disposal), konversi lahan mangrove dan lamun (mangrove and swamp conversion), dan reklamasi di kawasan pesisir (reclamation).
Sedangkan kegiatan atau aktivitas di laut (sea-based pollution) yang berpotensi mencemari lingkungan pesisir dan laut antara lain : perkapalan (shipping), dumping di laut (ocean dumping), pertambangan (mining), eksplorasi dan eksploitasi minyak (oil exploration and exploitation), budidaya laut (mariculture), dan perikanan (fishing).
Limbah minyak adalah buangan yang berasal dari hasil eksplorasi produksi minyak, pemeliharaan fasilitas produksi, fasilitas penyimpanan, pemrosesan, dan tangki penyimpanan minyak pada kapal laut.[1] Limbah minyak bersifat mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, dan bersifat korosif.[1] Limbah minyak merupakan bahan berbahaya dan beracun (B3), karena sifatnya, konsentrasi maupun jumlahnya dapat mencemarkan dan membahayakan lingkungan hidup, serta kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya.
a. Pengeboran di laut
Pada umumnya, pengeboran minyak bumi di laut menyebabkan terjadinya peledakan (blow aut) di sumur minyak. Ledakan ini mengakibatkan semburan minyak ke lokasi sekitar laut, sehingga menimbulkan pencemaran. Contohnya, ledakan anjungan minyak yang terjadi di teluk meksiko sekitar 80 kilometer dari Pantai Louisiana pada 22 April 2010. Pencemaran laut yang diakibatkan oleh pengeboran minyak di lepas pantai itu dikelola perusahaan minyak British Petroleum (BP). Ledakan itu memompa minyak mentah 8.000 barel atau 336.000 galon minyak ke perairan di sekitarnya.
b. Tumpahan minyak
Tumpahan minyak di laut berasal dari kecelakaan kapal tanker. Contohnya tumpahan minyak terbesar yang terjadi pada tahun 2006 di lepas pantai Libanon. Selain itu, terjadi kecelakaan Prestige pada tahun 2002 di lepas pantai Spanyol. Bencana alam seperti badai atau banjir juga dapat menyebabkan tumpahan minyak. Sebagai contoh pada tahun 2007, banjir di Kansas menyebabkan lebih dari 40.000 galon minyak mentah dari kilang tumpah ke perairan itu.

  1. Metode Penanggulangan Tumpahan Minyak Di Laut
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam penanganan tumpahan minyak (oil spill) di laut adalah dengan cara melokalisasi tumpahan minyak menggunakan pelampung pembatas (oil booms), yang kemudian akan ditransfer dengan perangkat pemompa (oil skimmers) ke sebuah fasilitas penerima “reservoar” baik dalam bentuk tangki ataupun balon. Langkah penanggulangan ini akan sangat efektif apabila dilakukan di perairan yang memiliki hidrodinamika air yang rendah (arus, pasang-surut, ombak, dll) dan cuaca yang tidak ekstrem.Beberapa teknik penanggulangan tumpahan minyak diantaranya in-situ burning, penyisihan secara mekanis, bioremediasi, penggunaan sorbent dan penggunaan bahan kimia dispersan. Setiap teknik ini memiliki laju penyisihan minyak berbeda dan hanya efektif pada kondisi tertentu.
  1. In-situ burning adalah pembakaran minyak pada permukaan air sehingga mampu mengatasi kesulitan pemompaan minyak dari permukaan laut, penyimpanan dan pewadahan minyak serta air laut yang terasosiasi, yang dijumpai dalam teknik penyisihan secara fisik. Cara ini membutuhkan ketersediaan booms (pembatas untuk mencegah penyebaran minyak) atau barrier yang tahan api. Beberapa kendala dari cara ini adalah pada peristiwa tumpahan besar yang memunculkan kesulitan untuk mengumpulkan minyak dan mempertahankan pada ketebalan yang cukup untuk dibakar serta evaporasi pada komponen minyak yang mudah terbakar. Sisi lain, residu pembakaran yang tenggelam di dasar laut akan memberikan efek buruk bagi ekologi. Juga, kemungkinan penyebaran api yang tidak terkontrol.
2.      Cara kedua yaitu penyisihan minyak secara mekanis melalui dua tahap yaitu melokalisir tumpahan dengan menggunakan booms dan melakukan pemindahan minyak ke dalam wadah dengan menggunakan peralatan mekanis yang disebut skimmer. Upaya ini terhitung sulit dan mahal meskipun disebut sebagai pemecahan ideal terutama untuk mereduksi minyak pada area sensitif, seperti pantai dan daerah yang sulit dibersihkan dan pada jam-jam awal tumpahan. Sayangnya, keberadaan angin, arus dan gelombang mengakibatkan cara ini menemui banyak kendala.
3.      Cara ketiga adalah bioremediasi yaitu mempercepat proses yang terjadi secara alami, misalkan dengan menambahkan nutrien, sehingga terjadi konversi sejumlah komponen menjadi produk yang kurang berbahaya seperti CO2 , air dan biomass. Selain memiliki dampak lingkunga kecil, cara ini bisa mengurangi dampak tumpahan secara signifikan. Sayangnya, cara ini hanya bisa diterapkan pada pantai jenis tertentu, seperti pantai berpasir dan berkerikil, dan tidak efektif untuk diterapkan di lautan.
4.      Cara keempat dengan menggunakan sorbent yang bisa menyisihkan minyak melalui mekanisme adsorpsi (penempelan minyak pada permukaan sorbent) dan absorpsi (penyerapan minyak ke dalam sorbent). Sorbent ini berfungsi mengubah fasa minyak dari cair menjadi padat sehingga mudah dikumpulkan dan disisihkan. Sorbent harus memiliki karakteristik hidrofobik,oleofobik dan mudah disebarkan di permukaan minyak, diambil kembali dan digunakan ulang. Ada 3 jenis sorbent yaitu organik alami (kapas, jerami, rumput kering, serbuk gergaji), anorganik alami (lempung, vermiculite, pasir) dan sintetis (busa poliuretan, polietilen, polipropilen dan serat nilon)
5.      Cara kelima dengan menggunakan dispersan kimiawi yaitu dengan memecah lapisan minyak menjadi tetesan kecil (droplet) sehingga mengurangi kemungkinan terperangkapnya hewan ke dalam tumpahan. Dispersan kimiawi adalah bahan kimia dengan zat aktif yang disebut surfaktan (berasal dari kata : surfactants = surface-active agents atau zat aktif permukaan).

Usaha untuk menjaga pencemaran laut
1)    Angkat sampah-sampah dan benda-benda bekas dari area laut.
2)    Tidak membuang puntung rokok ke laut saat berada di kapal.
3)    Menggunakan barang-barang yang bisa di daur ulang.
4)    Mengurangi pembelian produk yang menggunakan bahan plastik.
5)    Mendaur ulang sampah yang bisa di daur ulan
PENUTUP


3.1. Kesimpulan
Pencemaran laut terjadi apabila dimasukkannya oleh manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung, sesuatu benda, zat atau energi ke dalam lingkungan laut, sehingga menimbulkan akibat sedemikian rupa kepada alam dan membahayakan kesehatan serta kehidupan manusia dan ekosistem serta merugikan lingkungan yang baik dan fungsi laut sebagaimana mestinya. Tumpahan minyak menjadi penyebab utama pencemaran laut. Minyak yang tumpah diakibatkan oleh operasi kapal tanker, docking (perbaikan/perawatan kapal), terminal bongkar muat tengah laut, tanki ballast dan tanki bahan bakar, scrapping kapal (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua), kecelakaan tanker (kebocoran lambung, kandas, ledakan, kebakaran dan tabrakan), sumber di darat (minyak pelumas bekas, atau cairan yang mengandung hydrocarbon ( perkantoran & industri ), dan tempat pembersihan (dari limbah pembuangan Refinery ).
  1. Beberapa teknik penanggulangan tumpahan minyak diantaranya adalah in-situ burning, penyisihan secara mekanis, bioremediasi, penggunaan sorbent dan penggunaan bahan kimia dispersan. Setiap teknik ini memiliki laju penyisihan minyak berbeda dan hanya efektif pada kondisi tertentu.
  2. Komponen minyak yang tidak dapat larut di dalam air akan mengapung yang menyebabkan air laut berwarna hitam. Beberapa komponen minyak tenggelam dan terakumulasi di dalam sedimen sebagai deposit hitam pada pasir dan batuan-batuan di pantai. Komponen hidrokarbon yang bersifat toksik berpengaruh pada reproduksi, perkembangan, pertumbuhan, dan perilaku biota laut, terutama pada plankton, bahkan dapat mematikan ikan, dengan sendirinya dapat menurunkan produksi ikan.
 3.2. Saran
Masuknya minyak ke dalam perairan karena aktifitas manusia merupakan hal yang fatal. Sehingga kita sebagai insan akademisi di harapkan terus memberi kontribusi dengan memikirkan masalah-masalah serius seperti ini.



DAFTAR PUSTAKA


1.     Charade, Titi Heri Subandri, 1983, Sekali Lagi Tentang Penanggulangannya : Pencemaran Air Akibat Industri Minyak, dalam Harian Pikiran Rakyat, edisi 15Mei 1983.
2.    Eckenfelder Jr., W.Wesley, 1989, Industrial Water Pollution Control, 2nd edition, Singapore: McGraw Hill International Editions.

1 komentar:

  1. saya ingin berbagi dengan siapa pun di sini yang mencari pinjaman untuk bisnis atau pinjaman pribadi untuk menghubungi mr pedro di pedroloanss@gmail.com karena mr pedro dan perusahaan pinjamannya adalah semua yang saya percaya ketika datang ke solusi situasi keuangan jadi saya merekomendasikan ada yang mencari bantuan keuangan untuk menghubungi mr pedro dengan pinjaman 2 tingkat pengembalian tahunan, sekarang? Anda mengerti mengapa saya akan memilih pedro dengan perusahaan pinjamannya 100 keuangan asli.

    BalasHapus